Larangan Terhadap Hurriyat Menambah Kompleksitas Politik Kashmir: Apa Motif di Baliknya?

Selasa, 25 Maret 2025 | 23:51:01 WIB
Larangan Terhadap Hurriyat Menambah Kompleksitas Politik Kashmir: Apa Motif di Baliknya?

JAKARTA - Keputusan terbaru yang mengarah pada pelarangan dua organisasi besar pro-kemerdekaan di Jammu dan Kashmir, Awami Action Committee (AAC) yang dipimpin oleh Mirwaiz Umar Farooq dan Jammu and Kashmir Ittihadul Muslimeen (JKIM) yang dipimpin oleh pemimpin Syiah, Masroor Abbas Ansari, telah mengejutkan banyak pihak. Langkah ini terjadi di bawah undang-undang anti-teror yang ketat, yang memberikan gambaran tentang semakin ketatnya kontrol pemerintah India terhadap wilayah yang sudah lama bergolak ini. Meski tak terduga, banyak yang berpendapat bahwa langkah ini sejalan dengan strategi besar New Delhi dalam menangani persoalan Kashmir.

Namun, muncul pertanyaan mendasar: mengapa langkah ini diambil sekarang? Apa yang melatarbelakangi keputusan pemerintah India yang memutuskan untuk memperluas larangan terhadap organisasi-organisasi yang sudah lama membatasi aktivitas politiknya?
 

Langkah Kejam terhadap Organisasi Politik Kashmir
 

Sejak India mencabut otonomi Jammu dan Kashmir pada tahun 2019 dan membaginya menjadi dua Wilayah Persatuan (Union Territories), wilayah ini telah mengalami perubahan politik yang signifikan. Keputusan tersebut tidak hanya mengubah struktur pemerintahan, tetapi juga mengarah pada pembungkaman berbagai suara pro-kemerdekaan yang selama ini menjadi bagian dari lanskap politik Kashmir.

Segera setelah pembubaran wilayah tersebut, pemerintah India melarang sejumlah organisasi besar yang dianggap pro-kemerdekaan, seperti Jamaat-e-Islami, JKLF, Muslim League, Democratic Freedom Party, dan Dukhtaran-e-Millat, serta menangkap sejumlah aktivis dan pemimpin kunci. Baru-baru ini, pihak berwenang juga melakukan tindakan keras terhadap literatur Jamaat dan melarang lebih dari 600 buku yang dianggap menyebarkan pandangan separatis.

Meski AAC dan JKIM sudah lama dibatasi kegiatannya, pelarangan terbaru terhadap organisasi-organisasi ini menambah lapisan kompleksitas baru dalam politik Kashmir. Sejak 2019, aktivitas politik AAC dan JKIM semakin terkekang. Misalnya, Mirwaiz Umar Farooq, pemimpin AAC, hampir seluruh waktu lima tahun terakhirnya dihabiskan dalam tahanan rumah dan bahkan dilarang memberikan khutbah Jumat di Masjid Jamia Srinagar, yang merupakan pusat spiritual utama bagi masyarakat Kashmir.
 

Apakah Larangan Ini Tidak Beralasan?
 

AAC dan JKIM dikenal sebagai faksi moderat dalam aliansi Hurriyat yang telah beroperasi lebih dari enam dekade. Kedua organisasi ini terlibat dalam aktivisme politik serta sosial-keagamaan di wilayah tersebut. Sebelum larangan ini, organisasi-organisasi tersebut tidak terlihat terlibat dalam kekerasan atau kegiatan militan. Pemerintah India mengklaim bahwa sejak 2019, jumlah militansi di wilayah tersebut telah menurun secara signifikan, dengan estimasi jumlah militan aktif saat ini hanya sekitar 76 orang, di mana 59 di antaranya adalah warga negara asing.

Namun, meskipun pemerintah mengklaim adanya penurunan militan, mengapa larangan terhadap AAC dan JKIM perlu diterapkan? Apa urgensi keamanan yang mendasari tindakan ini? Sebagian besar alasan yang digunakan untuk melarang AAC pada 11 Maret lalu didasarkan pada kasus-kasus lama yang berasal dari periode 2008 hingga 2011, dengan sedikit bukti pelanggaran baru-baru ini yang menunjukkan ancaman nyata terhadap keamanan.

Sejumlah pengamat politik menganggap langkah ini spekulatif. Pemerintah India tampaknya lebih mengandalkan dugaan tentang apa yang mungkin dilakukan oleh AAC dan JKIM daripada bukti-bukti pelanggaran yang benar-benar terjadi dalam konteks politik saat ini. Selain itu, larangan ini juga mengabaikan sejarah Mirwaiz Umar Farooq, yang tidak hanya merupakan seorang pemimpin politik Kashmir, tetapi juga korban militansi. Ayahnya, Mirwaiz Moulvi Farooq, dibunuh pada tahun 1990, dan Mirwaiz muda mewarisi warisan spiritual dan politik ayahnya. Larangan ini, meskipun tampaknya tidak berdasar, telah menarik perhatian banyak pihak yang merasa bahwa tindakan ini tidak adil.
 

Sinyal yang Bertentangan dari Pemerintah India
 

Keputusan untuk melarang AAC dan JKIM semakin membingungkan karena beberapa sinyal yang bertentangan. Pada tahun 2017, Mirwaiz Umar Farooq sempat kehilangan perlindungan keamanan kategori Z yang disediakan oleh pemerintah India setelah seorang perwira polisi dikeroyok di Masjid Jamia. Namun, perlindungan ini baru-baru ini dipulihkan, yang mengindikasikan bahwa situasi keamanan di Kashmir mungkin membaik. Pernyataan ini, yang berasal dari mantan Ketua Menteri Omar Abdullah, memicu reaksi publik, dengan banyak pihak yang mempertanyakan apakah situasi politik dan keamanan di wilayah tersebut benar-benar membaik.

Lebih lanjut, pada Januari lalu, Mirwaiz memimpin delegasi ke New Delhi untuk menyampaikan memorandum kepada Komite Parlemen Gabungan tentang RUU Waqf. Dalam memorandum tersebut, Mirwaiz mengungkapkan kekhawatiran tentang pengambilalihan properti Waqf oleh pemerintah dan pengurangan representasi Muslim dalam amandemen yang diusulkan. Pada saat yang sama, ada laporan media yang mengindikasikan bahwa pemerintah India sedang mempertimbangkan untuk kembali berdialog dengan Hurriyat dalam rangka memperluas basis perdamaian di Kashmir.

Namun, meskipun ada laporan yang menyebutkan kemungkinan dialog dengan Hurriyat, kebijakan pemerintah India terhadap Kashmir sejak 2019 cenderung semakin keras. Pembungkaman perbedaan pendapat, penangkapan aktivis, serta penindasan terhadap media dan masyarakat sipil adalah pola yang konsisten sejak masa pemerintahan Narendra Modi. Oleh karena itu, banyak pengamat yang skeptis terhadap laporan-laporan ini, mengingat kenyataan politik yang ada.
 

Pertanyaan Tentang Tujuan Larangan ini
 

Seiring dengan keputusan larangan terhadap AAC dan JKIM, banyak yang bertanya-tanya tentang tujuan sebenarnya dari langkah ini. Apakah larangan ini merupakan bagian dari strategi pencegahan untuk menutup kemungkinan dialog politik yang dapat menggoyahkan kontrol pemerintah India di Kashmir? Ataukah ini merupakan bagian dari langkah lebih besar untuk mengonsolidasikan kekuasaan di wilayah tersebut dengan menghilangkan suara-suara moderat, yang meskipun tidak berhubungan langsung dengan militansi, tetap memiliki pengaruh besar dalam masyarakat?

Berbagai spekulasi berkembang mengenai larangan ini. Salah satu teori menyebutkan bahwa Omar Abdullah, mantan Ketua Menteri Jammu dan Kashmir, diam-diam melobi untuk larangan ini guna menghalangi upaya mendekati Hurriyat yang dapat mengancam ruang politiknya sendiri. Teori lain mengindikasikan adanya perselisihan di dalam birokrasi pemerintah India—antara Penasihat Keamanan Nasional yang mengembalikan perlindungan Mirwaiz dan Kementerian Dalam Negeri yang melanjutkan larangan terhadapnya.
 

Menguatkan Kontrol Pusat dan Mengosongkan Lanskap Politik
 

Penjelasan yang paling masuk akal adalah bahwa larangan ini merupakan bagian dari agenda pemerintah India untuk melemahkan institusi yang ada di Kashmir dan mengkonsolidasikan kontrol secara lebih efektif. Larangan terhadap AAC dan JKIM, yang meskipun tidak secara langsung terlibat dalam militansi, tetap mempertahankan pengaruh sosial dan politik di wilayah tersebut, mengindikasikan bahwa pemerintah India berusaha untuk meminimalisir segala bentuk oposisi, baik yang moderat sekalipun.

Sebagai bagian dari kebijakan pemerintah sejak 2019, larangan ini mempertegas upaya untuk mengosongkan ruang politik di Kashmir, baik untuk kelompok pro-kemerdekaan, pro-India, atau keagamaan. Pemerintah pusat tampaknya berusaha untuk menghilangkan potensi kebangkitan politik yang dapat menantang kekuasaannya di wilayah yang masih bergolak ini.

Terkini